Menyuarakan Kebenaran di Hadapan Pemimpin Zalim
Bagikan ini :

Pemimpin yang lalim dan tidak adil akan menimbulkan kerusakan di wilayah yang dipimpinnya. Mereka sering kali membuat keputusan yang merugikan dan mengikis hak-hak rakyat.

Lebih ironis lagi, mereka cenderung menggunakan kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi, sementara kebutuhan dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Padahal, seorang pemimpin sejatinya hadir untuk membawa kemaslahatan dan melindungi kedaulatan rakyatnya.

Oleh karena itu, rakyat tidak boleh tinggal diam ketika melihat seorang pemimpin berbuat zalim. Mereka memiliki hak dan kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dan menentang segala bentuk tindakan yang menyimpang dari keadilan dan kebenaran.

Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw menyebutkan, di antara jihad yang paling utama adalah suara keadilan yang diucapkan di hadapan pemimpin yang lalim dan tidak adil. Rasulullah saw bersabda:


أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ


Artinya, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Merujuk pada pendapat ‘Abdurrahman al-Mubarakfuri, maksud dari “penguasa yang zalim” adalah pemimpin yang berbuat kezaliman menggunakan kekuasaannya. Sementara maksud dari “kalimat” dalam hadits tersebut adalah seruan kepada pemimpin untuk menegakkan kebenaran dan menghentikan tindak kezaliman yang mereka lakukan. Seruan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik ucapan, tulisan, dan lain semacamnya. Al-Mubarakfuri menyebut:

وَالْمُرَادُ بِالْكَلِمَةِ مَا أَفَادَ أَمْرًا بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ مِنْ لَفْظٍ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ كَكِتَابَةٍ وَنَحْوِهَا

Artinya, “Yang dimaksud dengan kalimat adalah ucapan yang mengandung perintah melakukan kebenaran atau larangan melakukan kemungkaran, melalui ucapan atau tulisan, dan juga media lainnya yang memiliki fungsi serupa.” (Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut: Darul kutub Ilmiyah, t.t.], jilid XI, halaman 330).

Para ulama ahli hadits memiliki interpretasi yang beragam terkait alasan Rasulullah saw menyebut seruan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim dan tidak adil sebagai jihad yang paling utama. Di sini penulis berupaya mengutip beberapa pendapat ulama beserta argumentasinya.

Menurut Imam al-Khattabi, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam Mirqatush Shu’ud Ila Sunani Abi Dawud, Rasulullah saw menyebut seruan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim sebagai jihad yang paling utama karena menegakkan kebenaran di hadapan pemimpin yang lalim lebih sulit dan menantang dibandingkan dengan jihad melawan musuh-musuh Islam [dalam konteks perang].

Pemimpin yang zalim biasanya akan mengancam siapa pun yang berani menentang, terutama rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Oleh karena itu, menurut al-Khattabi, seorang rakyat yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim menunjukkan keberanian yang luar biasa dan tidak mengenal rasa takut. Inilah alasan mengapa jihad melawan pemimpin yang zalim dianggap sebagai jihad yang paling utama. Ia menyebutkan:

وصاحب السُّلطان مقهور في يده فهو إذا قال الحق وأمره بالمعروف فقد تعرَّض للتلف وأهدف نفسه للهلاك، فصار ذلك أفضل أنواع الجهاد من أجل غلبة الخوف.

Artinya, “Seseorang yang berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin otomatis berada dalam kendali pemimpin tersebut. Maka, jika ia menyampaikan kebenaran dan memerintahkan pemimpinnya untuk berbuat kebaikan, otomatis ia telah menempatkan dirinya dalam bahaya dan menghadapkan dirinya pada kehancuran.

Oleh karena itu, tindakan ini menjadi jenis jihad yang paling utama karena dirinya harus melawan rasa takut yang mendalam.” (Imam Suyuthi, Mirqatush Shu’ud Ila Sunan Abi Dawud, [Beirut: Darul Ibnu Hazm, 2012], jilid III, halaman 106).

Penafsiran lain mengenai alasan menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim disebut sebagai jihad yang paling utama, menurut Imam al-Muzhir, adalah karena ketika seorang pemimpin berbuat zalim, seluruh rakyatnya yang akan menderita akibat tindakan dan kebijakannya.  

Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang berani menyuarakan kebenaran untuk menghentikan kezaliman tersebut, ia telah berjuang demi kepentingan rakyat. (Mula al-Qari, Mirqatul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2002], jilid VI, halaman 412).

Di sisi lain, Syekh Muhammad bin ‘Alan  menegaskan bahwa menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim dianggap jihad yang paling utama karena tindakan tersebut mencerminkan kekuatan iman dan keberanian yang luar biasa dari orang yang melakukannya. (Dalilul Falihin, [Beirut, Darul Ma’rifah: 2004], jilid II, halaman 484).

Menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Artinya, setiap anggota masyarakat berhak dan berkewajiban untuk melakukannya, namun jika sudah ada sebagian yang menunaikannya, maka kewajiban ini gugur bagi yang lainnya.  

Menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim menjadi sangat penting agar mereka menghentikan segala tindakan yang merugikan rakyat dan menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran.

Namun, penting untuk diingat bahwa amar ma’ruf, atau menyuarakan kebenaran kepada pemerintah, harus dilakukan dengan cara yang bijaksana. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa amar ma’ruf kepada pemerintah sebaiknya dilakukan melalui nasihat yang baik dan penyampaian kebenaran dengan cara yang santun.

Amar ma’ruf kepada pemerintah tidak boleh dilakukan dengan cara pemberontakan (bughat), karena menyampaikan kebenaran melalui pemberontakan hanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Imam Al-Ghazali menyatakan:

وَأَمَّا الْمَنْعُ بِالْقَهْرِ ; فَلَيْسَ ذَلِكَ لِآحَادِ الرَّعِيَّةِ ; لِأَنَّ ذَلِكَ يُحَرِّكُ الْفِتْنَةَ، وَيُهَيِّجُ الشَّرَّ، وَيَكُونُ مَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ مِنَ الْمَحْذُورِ أَكْثَرَ

Artinya, “Adapun mencegah (kezaliman) dengan kekerasan, maka hal ini bukanlah kewenangan individu dari rakyat, karena tindakan tersebut dapat memicu fitnah, mengobarkan kejahatan, dan menyebabkan kerusakan yang timbul darinya menjadi lebih besar.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t.], jilid II, halaman 343)

Artinya, “Diharamkan untuk memberontak terhadap penguasa dan memeranginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin, karena hal tersebut akan menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan hubungan di antara umat. Kerusakan yang terjadi akibat menggulingkannya lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan karena tetap mempertahankannya.

Selain itu, ketidakbolehan memberontak dikarenakan kita harus taat pada pemimpin selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat, meskipun penguasa tersebut zalim.” (Syamsuddin ar-Ramli, Ghayatul Bayan, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.], halaman 15).

Pada kesimpulannya, kita akan sadar betapa pentingnya menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim agar ketidakadilan yang mereka lakukan dapat dihentikan. Terlebih dalam konteks negara demokrasi, menyampaikan aspirasi dan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia yang legal dan konstitusional.

Meskipun demikian, menyuarakan kebenaran harus dilakukan dengan cara yang baik sesuai norma-norma syariat maupun aturan dalam undang-undang, tujuannya agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Wallahu A’lam



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *